Ketika pemerintah mengumumkan rencana perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5 % untuk UMKM WP Orang Pribadi (OP) hingga 2029, bersamaan dengan penyesuaian siapa saja yang akan menikmati fasilitas tersebut, muncul dua kutub harapan dan kekhawatiran.
Di satu sisi, ini bisa memperkuat kepercayaan UMKM terhadap kepastian fiskal. Di sisi lain, ada potensi risiko bagi mereka yang belum siap menghadapi aturan baru. Ditambah hadirnya PMK 37 Tahun 2025, yang menugaskan marketplace atau platform digital sebagai pemungut atas transaksi UMKM, situasinya menjadi semakin kompleks.
Sekilas Tentang Perpanjangan Fasilitas PPh Final 0,5% bagi UMKM
Fasilitas PPh Final 0,5% merupakan kebijakan pajak yang dikenakan atas omzet bruto, bukan laba bersih, dengan tujuan menyederhanakan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha kecil.
Melalui perpanjangan ini, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dengan omzet tahunan hingga Rp 4,8 miliar yang tetap dapat menikmati tarif PPh Final 0,5% hingga akhir tahun pajak 2029.
Perlu ditekankan bahwa WP Badan seperti CV, firma, atau PT tidak lagi berhak menggunakan fasilitas ini, karena masa pemanfaatan bagi mereka telah berakhir sesuai ketentuan PP 23 Tahun 2018 dan PP 55 Tahun 2022. Selain itu, bagi WP OP, masa pemanfaatan maksimal tetap 7 tahun sejak pertama kali menggunakan skema ini.
Nafas Lega Bagi Pelaku UMKM
Bagi banyak pelaku UMKM, terutama yang baru berkembang, kebijakan ini jelas membawa angin segar. Fasilitas 0,5% memungkinkan mereka mempertahankan arus kas tanpa terbebani pajak besar di tengah omzet yang masih fluktuatif.
Selain itu, perpanjangan hingga 2029 juga memberi kepastian jangka menengah, sehingga pelaku usaha bisa merencanakan ekspansi atau investasi jangka panjang dengan asumsi beban pajak yang stabil.
Bagi investor lokal dan lembaga keuangan, perpanjangan ini juga meningkatkan kepercayaan terhadap keberlanjutan sektor UMKM, yang selama ini menyumbang lebih dari 60% terhadap PDB nasional.
Keadilan dan Efektivitas Masih Dipertanyakan
Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa perpanjangan ini berpotensi menghambat proses formalisasi UMKM. Jika tarif rendah terus dipertahankan, sebagian pelaku usaha mungkin akan “betah” berada di level mikro, tanpa dorongan untuk naik kelas dan membuat laporan keuangan lebih profesional.
Selain itu, PPh Final bersifat regresif, karena menghitung pajak dari omzet, bukan keuntungan. Dalam kondisi margin usaha yang tipis, pelaku UMKM bisa merasa dirugikan karena tetap harus membayar pajak meski usahanya merugi.
Kritik lainnya adalah tidak semua pelaku UMKM memahami batas waktu fasilitas, terutama terkait masa berlaku yang terbatas hanya untuk tujuh tahun bagi wajib pajak orang pribadi.
Dilema Baru: Fasilitas Hanya Berlaku 7 Tahun Sejak NPWP Diterbitkan
Sejak diterapkannya PP 55 Tahun 2022, UMKM orang pribadi mendapatkan keringanan tambahan berupa pembebasan PPh untuk omzet hingga Rp500 juta pertama per tahun. Namun, ada catatan penting yang sering luput: fasilitas PPh Final 0,5% hanya berlaku selama tujuh tahun sejak wajib pajak memiliki NPWP, bukan sejak usaha dimulai.
Ini menjadi masalah bagi banyak pelaku usaha baru. Misalnya, seseorang yang memiliki NPWP sejak menjadi karyawan pada 2016, lalu memulai usaha di 2024, secara otomatis tidak lagi berhak menggunakan tarif PPh Final 0,5% karena masa tujuh tahunnya telah habis.
Ketentuan ini dinilai tidak adil, karena menghukum pelaku usaha yang baru benar-benar memulai bisnis setelah berpindah profesi. Banyak pihak mendorong agar aturan ini dihitung sejak aktivitas usaha dimulai, bukan sejak NPWP diterbitkan, agar lebih mencerminkan prinsip keadilan dan dukungan nyata bagi wirausaha baru.
Baca juga: Pajak Asuransi: Cara Hitung PPh dan PPN atas Premi serta Klaim
Penyesuaian Penerima: Siapa yang Layak, Siapa yang Terdampak?
Kalau fasilitas 0,5 % tetap diberikan secara luas, termasuk kepada usaha yang sudah besar, akan terdapat risiko distorsi. Penyesuaian bisa menjadikan kebijakan yang lebih adil, dimana UMKM yang benar-benar mikro tetap diprioritaskan, sementara usaha menengah ke atas tidak “nyasar” menikmati bantuan yang mestinya bukan haknya.
Banyak UMKM maju memilih bentuk badan hukum (PT, CV) sebagai bentuk profesionalisme dan kepercayaan pasar. Jika fasilitas 0,5% kemudian dibatasi hanya untuk WP OP, maka UMKM badan hukum bisa terkena beban pajak lebih tinggi tanpa kesiapan. Akibatnya, mereka dipaksa untuk “turun kasta” atau mencari strategi penghindaran, yang mana bukan itu niat kebijakan tersebut.
PMK 37/2025: Menjadikan Marketplace sebagai “Teller Pajak”
Sementara itu, ada pula PMK 37/2025 yang memandatkan marketplace atau platform digital menjadi pihak yang memungut PPh 0,5% dari peredaran bruto transaksi UMKM di platform-nya. Ini adalah langkah strategis pemerintah untuk:
Namun, mekanisme ini bukan tanpa risiko:
Baca juga: Pajak Beli Barang Online dari Luar Negeri, Ada PPh?
Bagi Pelaku UMKM: Ini Jadi Peluang dan Tantangan Nyata di Lapangan
Dengan beberapa aturan baru dari pemerintah, terdapat beberapa poin penting yang harus dipertimbangkan oleh UMKM, terlebih di tengah situasi ekonomi yang masih belum pasti.
Pelaku UMKM / Peran | Peluang & Keuntungan | Risiko & Tantangan |
Pemilik usaha mikro WP OP | Pajak sederhana & terukur, fokus ke bisnis | Jika margin tipis, 0,5 % tetap terasa berat |
Penjual marketplace | Biaya pajak otomatis, beban administratif berkurang | Jika pemungutan salah, bukti tidak jelas, potensi sengketa |
UMKM berbadan hukum (PT, CV, Koperasi) | Jika masih dipertahankan, tetap bisa menikmati | Jika dikeluarkan dari fasilitas, kena tarif lebih tinggi mendadak |
Beberapa Langkah yang Dapat Diambil untuk Memastikan Kebijakan Tepat Sasaran
Perpanjangan PPh Final 0,5 % hingga 2029 bisa menjadi pelampung harapan bagi banyak UMKM untuk tetap “bernafas” di tengah persaingan yang ketat. Ditambah peran platform sebagai pemungut melalui PMK 37/2025, bukti bahwa pemerintah ingin mengintegrasikan ekonomi digital ke sistem pajak nasional.
Namun demikian, kebijakan ini bukan tanpa risiko. Jika penyesuaian penerima fasilitas tidak disusun hati-hati, UMKM yang sudah “naik kelas” malah terpaksa kembali ke posisi rentan. Apalagi bagi mereka yang margin usahanya tipis, pajak final akan tetap terasa.
Di sinilah peran MSM Consulting hadir sebagai mitra terpercaya bagi para pelaku UMKM dan bisnis berkembang.
Dengan pengalaman mendalam di bidang perpajakan dan kepatuhan usaha, MSM Consulting membantu Anda menavigasi setiap perubahan regulasi dengan strategi pajak yang efisien, legal, dan menguntungkan. Dapatkan konsultasi profesional untuk memastikan bisnis Anda tetap patuh dan siap tumbuh berkelanjutan di era baru kebijakan fiskal ini.
Hubungi MSM Consulting sekarang!